Rabu, 29 Agustus 2012

Beberapa Istilah yang Terkait dengan Pembelajaran Bahasa Arab


 Beberapa Istilah yang Terkait dengan Pembelajaran Bahasa Arab
Disampaikan oleh Yusmadi, S.Ag, MS
                              
1.        Pendahuluan
Bahasa Arab merupakan mata pelajaran yang mengembangkan keterampilan berkomunkasi lisan dan tulisan untuk memahami dan mengungkapkan informasi, pikiran, perasaan, serta mengembangkan ilmu pengetahuan
Tujuan pelajaran bahasa Arab adalah agar peserta didik menguasai secara aktif dan pasif dengan target yang ditentukan dan idiomatik yang disusun dalam berbagai susunan kata (tarkib) dan pola kalimat yang diprograman sehingga dapat dipergunakan sebagai alat komunikasi dan dan memahami teks-teks yang terkait dengan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan keagamaan.
Dalam pelaksanaan pengajaran bahasa Arab guru sering dihadapkan kepada permasahan dan kesulitan begitu juga siswa menganggap sulit mata pelajaran bahasa Arab yang diajarkan sehingga tidak tercapai sasaran pembelajaran bahasa Arab.
Supaya pembelajaran bahasa Arab mencapai sasaran yang diharapkan, ada beberapa hal yang perlu dipahami yaitu , teori (al-nazariyyah), pendekatan (al-madkhal), metode (al-thariqah), dan teknik (al-uslub).Maka dalam makalah ini penulis akan menjelaskan beberapa istilah yang berkaitan dengan hal diatas.   

2.    Pembahasan
            Dalam pengajaran bahasa ada empat istilah yang perlu dipahami pengertian dan konsepnya secara tepat, yakni, teori (al-nazariyyah), pendekatan (al-madkhal), metode (al-thariqah), dan teknik (al-uslub).
 2.1.  Teori (al-Nazariyyah)
            Teori secara umum dapat diartikan sebagai  pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan, didukung oleh data dan argumentasi.[1] Maka pengembangan metode pengajaran dibangun diatas landasan teori tersebut. Teori-teori yang dipakai adalah teori ilmu jiwa (psikologi) dan teori  ilmu bahasa (linguistik). Psikologi menguraikan bagaimana orang belajar sesuatu. Linguistik memberikan informasi tentang seluk-beluk bahasa. Informasi dari keduanya diramu menjadi suatu metode yang memudahkan PBM untuk mencapai tujuan tertentu.[2]
2.1.1 Teori-teori  Ilmu Jiwa (‘lm al-nafs / psychology)
Para ahli psikologi sepakat bahwa proses belajar mengajar terdapat unsur-unsur internal,yaitu bakat, minat kemauan, dan pengalaman terdahulu dalam diri pembelajar, dan unsur-unsur eksternal, yaitu lingkungan, guru, buku teks dan sebagainya. Namun para ahli psikologi berbeda pendapat tentang unsur yang paling dominan pengaruhnya dalam proses pembelajaran. Dalam memandang hal ini terdapat dua mazhab psikologi, yaitu mazhab behaviorisme (al-sulukiyah) dan mazhab kognitif (al-ma’rifah). Mazhab pertama memberikan perhatian lebih besar kepada faktor-faktor eksternal, sedangkan mazhab kedua lebih memfokuskan perhatiannya kepada faktor internal. Secara singkat dapat penulis jelaskan kedua mazhab ini sebagai berikut.

a.  Mazhab Behaviorisme
            Teori Behaviorisme  diperkenalkan oleh John B.Watson (1878)-1958). Di Amerika dia dikenal sebagai bapak Behaviorisme karena prinsip-prinsip pembelajaran barunya berdasarkan teori Stimulus-Respon . Yang dapat dikaji oleh psikologi  menurut teori ini adalah benda-benda atau hal-hal yang dapat diamati secara lansung  yaitu ransangan (stimulus) dan gerak balas (respon) sedangkan hal-hal yang terjadi dalam otak  tidak berkaitan dengan kajian. Maka dalam proses pembelajaran tidak ada perbedaan antara manusia dengan hewan[3].Teori ini kelanjutan  dari teori pembiasaan klasik  Pavlov (1849-1939) dengan teorinya yang menghubungkan stimulus primer (makanan) dan stimulus sekunder (nyala lampu dan bunyi lonceng) dengan respon (keluarnya air liur) anjing yang dijadikan sebagai hewan percobaabnya. Berdasarkan penelitian Pavlov air liur anjing mengalir pada saat lampu menyala meskipun tanpa ada makanan[4].  Ilmuwan berikutnya adalah Edward L Thorndike dengan teori menghubungkan (connectionism theory). Menurutnya pembelajaran merupakan sesuatu proses menghubung-hubungkan dalan system saraf. Yang dihubungkan dalam system saraf  adalah peristiwa-peristiwa fisik dan mental  dalam proses pembelajaran[5]. B.F.Skinner berpendapat serupa tetapi dia memakai istilah penguatan( al-ta’ziz-reinforcement). Skinner berpendapat bahwa al-tsawab atau al-ta’ziz bukan saja memperkuat hubungan  antara stimulus dan respon tapi juga memotivasi untuk belajar merespon.[6]
            Dari paparan diatas jelas bahwa faktor-faktor eksternal dan merekayasa lingkungan pembelajaran adalah cara yang efektif untuk mencapai tujuan. Maka dalam pengajaran bahasa, mazhab behaviorisme ini melahirkan pendekatan aural-oral (thariqah sam’yyah syafahiyyah). Dalam pendekatan ini peran guru sangan dominan karena dialah yang memilih bentuk stimulus, memberikan ganjaran dan hukuman, memberikan penguatan dan menentukan jenisnya, dan dia pulalah yang memilih buku, matri dan cara pengajarannya, bahkan menentukan bentuk jawaban atas pertanyaan yang diajukan kepada pembelajar. Pendekatan ini memberikan perhatian kepada kegiatan latihan, driil, menghafal kosa kata, dialog, teks bacaan, dan pada sisi lain lebih mengutamakan bentuk luar bahasa (pola, struktur, kaedah) dari pada kandungan isinya.

b. Mazhab Kognitive
            Mazhab ini menegaskan pentingnya keaktifan pembelajar. Pembelajarlah yang mengatur dan menentukan proses pembelajaran. Lingkungan bukanlah penentu awal dan akhir positif atau negatifnya hasil pembelajaran. Menurut pandangan mazhab ini seorang ketika menerima stimulus dari lingkungannya, dia melakukan pemilihan sesuai dengan minat dan keperluannya, menginterpretasikan, menghubungkan dengan pengalaman terdahulu, baru kemudian memilih alternative respon yang paling sesuai.
Teori Kognitive berdasarkan pada hipotesis bahwa otak manusia disipkan secara genetic untuk berbahasa, untuk itu otak manusia sudah dilengkapi dengan struktur bahasa  secara universal  yang disebut dengan  L.A.D (language acquisition devide ).    Alat ini menyerupai layar radar yang hanya menangkap gelombang-gelombang bahasa. Setelah diterima gelombang-gelombang itu ditata  dan dihubung-hubungkan satu sama lain menjadi sebuah system kemudian dikirimkan ke pusat pengolahan kemampuan berbahasa( language competence). Pusat ini merumuskan kaidah-kaidah bahasa dari data-data ujaran yang dikirim oleh LAD dan menghubungkannya dengan makna yang dikandungnya sehingga terbentuklah kemampuan berbahasa. Pada tahap selanjutnya pembelajar bahasa menggunakan kemampuan berbahasanya untuk mengkreasi kalimat-kalimat dalam bahasa yang dipelajarinya untuk mengungkapkan keinginan dan keperluan yang sesuai dengan kaidah-kaidah yang telah diketahuinya.[7]

2.1.2        Teori Ilmu Bahasa ( ‘llm al-Lughah/Linguistic)
            Perbedaan cara atau metode mengajarkan bahasa dipengaruhi pula oleh perbedaan pandangan terhadap hakekat bahasa dan perbedaan dalam cara menganalisis  dan mendiskripsikan bahasa. Bahasan tentang teori ilmu bahasa ini ada dua aliran dalam ilmu bahasa, yaitu aliran struktural dan aliran transformasi-generatif.[8]
a. Aliran Struktural
Aliran ini dipelopori oleh linguis dari Swiss Ferdinand de Saussure(1857-1913) dan dikembangkan lebih lanjut oleh  Leonard Bloomfield. Beberapa teori tentang bahasa menurut mazhab ini antara lain: (1) Bahasa itu pertama-tama adalah ujaran (lisan), (2) Kemampuan berbahasa diperoleh melalui kebiasaan yang ditunjang dengan latihan-latihan  dan penguatan,                                                       (3) Setiap bahasa memiliki sistemnya sendiri yang berbeda dari bahasa lainnya, (4) Setiap bahasa memiliki sistem yang utuh dan cukup untuk mengekspresikan maksud dari penuturnya. (5) Semua bahasa yang hidup dan berkembang mengikuti perobahan zaman karena terjadinya kontak dengan bahasa lain, oleh karena itu kaidah-kaidahpun bias mengalami perobahan. (6) Sumber utama kebakuan bahasa adalah penutur bahasa tersebut.[9]
Ada beberapa prinsip mengenai pengajaran bahasa, yaitu;
1. Karena kemampuan berbahasa diperoleh melalui kebiasaan maka latihan menghafal dan menirukan berulang-ulang harus diintensifkan. Guru harus mengambil peran utama dalam pembelajaran.
2. Karena bahasa lisan merupakan sumber bahasa utama, maka guru harus memulai pelajaran dengan menyimak kemudian berbicara, membaca dan menulis.
3. Hasil analisa konstrastif (perbandingan bahasa ibu dengan bahasa yang dipelajari) dijadikan dasar pemilihan materi pelajaran dan latihan-latihan.
4. Diberikan perhatian yang besar kepada wujud luar dari bahasa, yaitu: pengucapan yang fasih, ejaan dan pelafalan yang akurat, struktur yang benar.
b. Aliran Generatif-Transformasi
Tokoh utama aliran ini adalah linguis Amerika Noam Chomsky yang membedakan dua struktur bahasa, yaitu struktur luar (surface struktur) dan struktur dalam (deep struktur). Bentuk ujaran yang diucapkan atau ditulis oleh penutur adalah struktur luar yang merupakan manifestasi dari struktur dalam. Ujaran itu bisa berbeda bentuk dengan struktur dalamnya, tetapi pengertian yang dikandung sama. Struktur luar bisa saja memiliki bentuk yang sama dengan struktur dalam tetapi tidak selalu demikian.
Chomsky membagi kemampuan berbahasa menjadi dua, yaitu kompetensi dan performansi. Kompetensi(competence-al-kafa:’ah) adalah kemampuan ideal yang dimiliki oleh seorang penutur. Kompetensi menggambarkan pengetahuan tentang system bahasa yang sempurna, yaitu pengetahuan tentang system kalimat(sintaks), system kata(morfologi), system bunyi(fonologi) dan system makna(semantiuk). Sedangkan performansi (performance-al-ada:’) adalah ujaran-ujaran yang bisa  didengar atau dibaca yang merupakan tuturan seseorang apa adanya, oleh karena itu performansi bisa saja tidak sempurna, dan oleh karena itu pula, menurut  Chomsky suatu tatabahasa memberikan kompetensi dan bukan performansi.
Prinsip bahwa kompetensi dalam pengertian Comsky adalah refleksi suatu kemampuan berbahasa ditolak oleh Dell Hymes (1972), Menurutnya seorang yang baru saja menguasai ragam yang ideal itu belum bisa dikatakan menguasai suatu bahasa dalam arti yang sebenarnya karena penguasaan itu baru mencapai tingkat “kompetensi linguistic” yaitu penguasaan tatabahasa yang terlepas dari konteks. Penguasaan bahasa yang sempurna harus mencakup penguasaan kaidah-kaidah tatabahasa dan kaidah-kaidah interaksi social yang berhubungan dengan pemakaian bahasa. Di dalam bahasa arab dikenal dengan dzawq lighawy (cita rasa bahasa). Suatu ujaran bisa saja benar menurut nahwy tetapi belum tentu benar secara dzawqy. Kemampuan berbahasa tertinggi harus mencakup penguasaan dzawq lughawy.[10]
2.2. Pendekatan
Pendekatan adalah seperangkat asumsi berkenaan dengan hakekat bahasa dan belajar mengajar bahasa[11].  Maka  adapun pendekatan pembelajaran bahasa Arab yang efektif mencakup  beberapa pendekatan yang harus dipahami, yaitu pendekatan humanistik, komunikatif, kontekstual, dan struktural.
(1) Pendekatan humanistik melihat bahwa pembelajaran bahasa Arab memerlukan keaktifan pemelajarnya, bukan pengajar. Pemelajarlah yang aktif belajar bahasa dan pengajar berfungsi sebagai motivator, dinamisator, administrator, evaluator, dsb.Pengajar harus memanfaatkan semua potensi yang dimiliki pemelajar.
(2) Pendekatan komunikatif melihat bahwa fungsi utama bahasa adalah komunikasi.Hal ini berarti materi ajar bahasa Arab harus materi yang praktis dan pragmatis, yaitu materi ajar terpakai dan dapat dikomunikasikan oleh pemelajar secara lisan maupun tulisan. Materi ajar yang tidak komunikatif kurang efektif.
(3) Pendekatan kontekstual melihat bahasa sebagai suatu makna yang sesuai dengan kebutuhan pembelajar. Di sini, rancangan materi ajar harus berdasarkan kebutuhan lembaga, kebutuhan pembelajar hari ini dan ke depan.
(4) Pendekatan struktural melihat bahwa pembelajaran bahasa sebagai hal yang formal. Oleh sebab itu, struktur bahasa (qawaid) harus mendapat perhatian dalam merancang materi ajar. Namun struktur harus fungsional agar komunikatif dan praktis. Qawaid/ grammar yang tidak praktis dan tidak komunikatif dalam pembelajaran bahasa Arab telah gagal membentuk pembelajar terampil berbahasa, bukan saja bahasa Arab tetapi juga bahasa Inggris.[12]
2.3. Metode (al-thariqah)  Pembelajaran Bahasa Arab
Metode adalah rencana menyeluruh penyajian bahasa secara sistematis berdasarkan pendekatan yang ditentukan[13] . Ada beberapa metode yang cukup besar pengaruhnya dalam pengajaran bahasa Arab, diantaranya;
a.    Metode Gramatika-Terjemah (Thariqah al-qawaid wa tarjamah)
Cikal bakal metode ini dapat dirujuk keabad kebangkitan Eropa (abad 15) ketika banyak sekolah dan universitas di Eropa pada waktu itu mengharuskan pelajar dan mahasiswa belajar bahasa Latin karena dianggap mempunyai nilai pendidikan yang tinggi guna mempelajari teks-teks klasik(al-Araby 1981). Metode ini merupakan pencerminan yang tepat dari cara bahasa-bahasa Yunani kuno dan Latin diajarkan selama berabad-abad(Subyakto,1993).Akan tetapi penamaan metode kasik ini dengan Grammar Tranlation Method baru dikenal pada abad 19 ketika metode ini digunakan secara luas dibenua eropa(Brown,2001). Metode ini juga banyak digunakan untuk pengajaran bahasa Arab baik di negeri arab maupun di negeri-negeri Islam lainnya termasuk Indonesia sampai akhir abad ke 19.
b.      Metode Lansung (al-thariqah al-mubasyarah)
Metode ini muncul akibat ketidakpuasan terhadap hasil pengajaran bahasa dengan metode gramatika terjemah dikaitkan dengan tuntunan kebutuhan nyata di masyarakat. Menjelang pertengahan abad ke 19 hubungan antara Negara Eropa mulai terbuka sehingga menyebabkan adanya kebutuhan untuk saling berkomunikasi aktif diantara mereka. Untuk itu mereka membutuhkan cara baru belajar bahasa kedua, karena metode yang ada tidak praktis dan tidak efektif maka pendekatan-pendekatan baru mulai dicetuskan oleh para ahli bahasa di Jerman, Inggeris, Prancis, dll yang membuka jalan lahirnya metode baru yang disebut metode lansung. Diantara para ahli itu adalah Francois  Gouin (1880-1992) seorang guru bahasa Latin dari Prancis. Metode ini memperoleh popularitas pada awal abad ke 20 di Eropa dan Amerika. Pada waktu yang sama metode ini digunakan untuk pengajaran bahasa Arab baik di Negara Arab maupun di negara-negara Islam termasuk di Indonesia.
Metode ini dikembangkan atas asumsi bahwa proses belajar bahasa kedua atau bahasa asing sama dengan belajar bahasa ibu yaitu dengan menggunakan bahasa secara            lansung dan intensif dalam komunikasi, dan dengan menyimak dan berbicara sedangkan mengarang dan membaca dikembangkan kemudian.
c.       Metode Membaca (Thariqah al-qira:’ah)
Ketidakpuasan kepada metode lansung kurang memberikan perhatian kepada kemahiran membaca dan menulis, mendorong para guru dan ahli bahasa untuk mencari metode baru. Pada waktu itu berkembang opini bahwa mengajarkan bahasa asing dengan target penguasaan semua keterampilan berbahasa adalah sesuatu yang mustahil. Oleh karena itu Profesor Coleman dan kawan-kawan dalam sebuah laporan yang ditulis pada tahun 1929 menyarankan penggunaan suatu metode dengan satu tujuan pengajaran yang lebih realistis, yang paling diperlukan oleh pelajar adalah keterampilan membaca. Metode yang kemudian dinamai dengan metode membaca ini digunakan disekolah menengah dan perguruan tinggi di seluruh Amerika dan negara-negara lain di Eropa. Meskipun disebut metode membaca tidak berarti bahwa kegiatan belajar mengajar hanya terbatas pada latihan membaca, latihan menulis dan berbicara juga diberikan.
Metode ini dikembangkan berdasarkan asumsi bahwa pengajaran bahasa tidak bisa bersipat multi tujuan dan bahwa kemampuan membaca adalah tujuan yang paling realistis ditinjau dari kebutuhan pembelajar bahasa asing. Model pengajaran metode membaca yang paling terkenal di Eropa dan Timur Tengah  adalah model Michael West. Buku Pelajaran bahasa Inggeris yang dikembangkan oleh West dipakai secara luas di Mesir.

d.      Metode Audiolingual (al-Thariqah al-samiyyah al-syafahiyyah)
Keterampilan berbahasa yang dihasilkan oleh metode membaca, yang terbatas kepada membaca teks-teks ternyata tidak lagi memadai untuk memenuhi kebutuhan yang berkembang pada tahun empatpuluhan. Dalam situasi perang dunia II, Amerika Serikat memerlukan personalia yang lancar berbahasa asing untuk ditempatkan di beberapa Negara baik sebagai penerjemah dokumen-dokumen maupun pekerja lain yang memerlukan komunikasi lansung dengan penduduk setempat. Untuk itu Departemen Pertahanan Negara Amerika Serikat membentuk satu badan yang dinamai Army Spesializet Training Program(ASTP)  dengan melibatkan 55 universitas di AS . Program yang dimulai pada tahun 1943 ini bertujuan agar peserta program dapat mencapai keterampilan berbicara dalam beberapa bahasa asing dengan pendekatan dan metode yang baru.
            Pengajaran bahasa Asing model ASTP yang bersipat intensif dan berbasis penyajian lisan ini dianggap berhasil. Oleh karena itu sejumlah ahli linguistic terkemuka yakin bahwa model ASTP ini layak diterapkan secara umum diluar program ketentaraan. Model ASTP inilah yang merupakan cikal bakal dari metode audiolingual. Pada waktu yang sama dikembangkan oral-approach yang mirip sekali dengan metode yang sedang berkembang di Amerika.
            Metode Audiolingual di dasarkan atas beberapa asumsi antara lain bahwa bahasa itu pertama-tama adalah ujaran. Oleh karena itu pengajaran bahasa harus dimulai dengan memperdengarkan bunyi-bunyi bahasa dalam bentuk kata atau kalimat kemudian mengucapkannya sebelum pelajaran membaca dan menulis. Asumsi lain ialah bahwa bahasa adalah kebiasaan. Suatu prilaku akan menjadi kebiasaan apabila diulang berkali-kali . Oleh karena itu pengajaran bahasa harus dilakukan dengan teknik pengulangan atau repetisi. Ajarkan bahasa dan jangan mengajarkan tentang bahasa juga merupakan prinsip dasar dalam metode ini. Oleh karena itu pelajaran bahasa harus diisi dengan kegiatan berbahasa bukan kegiatan mempelajari kaidah-kaidah bahasa.

e.       Metode Komunikatif (al-thariqah al-ittishaliyah)
Istilah communicative competence digunakan pertama kali oleh Dell Hymes pada awal tahun tujuhpuluhan sebagai reaksi terhadap istilah language competence dari Chomsky. Konsep kompetensi kebahasaan Chomsky lebih bertumpu pada psikolinguistik, sementara konsep kompetensi komunikatif  Hymes lebih pada sosiolinguistik. Chomsky membedakan kompetensi dengan performansi sejalan dengan klasifikasinya terhadap struktur bahasa menjadi struktur luar dan struktur dalam. Kompetensi berhubungan dengan penguasaan struktur dalam yang bersipat ideal sedangkan performansi adalah realisasi dari kompetensi dalam bentuk ujaran yang bersipat praktis . Hymes menolak pandang Chomsky bahwa kompetensi dalam arti penguasaan gramatika merupakan refleksi dari kemampuan berbahasa. Seorang yang hanya menguasai struktur atau pola-pola kalimat yang terlepas dari konteks belum bisa disebut sebagai orang yang mampu berbahasa. Kemampuan berbahasa yang sebenarnya haruslah mencakup penguasaan kaidah-kaidah gramatika sekaligus penguasaan norma-norma sosial yang terkait dengan penggunaan bahasa. Secara ringkas  Hymes(1972) menyebut empat faktor yang membangun dan menjadi ciri metode ini yaitu kegramatikalan, keberterimaan, ketepatan, dan keterlaksanaan. Brown (1987) memaknai kompetensi komunikatif  sebagai kompetensi yang memungkinkan seorang untuk meneruskan pesan , menafsirkannya, dan memberinya makna dalam interaksi antar individu dalam konteks yang spesifik.
            Metode Komunikatif didasarkan atas asumsi bahwa setiap manusia memiliki kemampuan bawaan yang disebut dengan alat pemerolehan bahasa. Oleh karena itu kemampuan berbahasa bersipat kreatif dan lebih ditentukan oleh faktor internal. Asumsi berikutnya adalah bahwa penggunaan bahasa tidak hanya terdiri atas empat keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis), tapi mencakup beberapa kemampuan dalam kerangka komunikatif yang luas sesuai dengan peran dari partisipan, situasi, dan tujuan interaksi. Dan asumsi lainnya adalah bahwa belajar bahasa kedua dan bahasa asing sama seperti belajar bahasa pertama yaitu berangkat dari kebutuhan dan minat pelajar.                     Oleh karena itu analisa kebutuhan dan minat pelajar merupakan landasan dalam pengembangan materi pelajaran.
f.       Metode Eklektik ( al-thariqah al-intiqaiyyah)
Metode ini didasarkan atas asumsi bahwa  (1) tidak ada metode      yang ideal karena masing-masing mempunyai segi-segi kekuatan dan kelemahan, (2) setiap metode mempunyai kekuatan yang bisa dimanfaatkan untuk meefektifkan pengajaran, (3) lahirnya metode  baru tidak dilihat sebagai penolakan kepada metode lama melainkan sebagai penyempurnaan, (4) tidak ada satu metode yang cocok untuk semua tujuan, semua guru, semua siswa, dan semua program pengajaran, (5) yang terpenting dalam pengajaran adalah memenuhi kebutuhan pelajar  bukan memenuhi suatu metode, (6) setiap guru memiliki kewenangan dan kebebasan untuk memilih metode yang sesuai dengan kebutuhan pelajar.
2.4 Teknik (al-uslub) Pembelajaran Bahasa Arab
Teknik pembelajaran bahasa Arab terbagi kepada dua macam, yaitu teknik pengajaran unsur bahasa dan teknik pengajaran kemahiran berbahasa.
2.4.1 Teknik pengajaran unsur bahasa.
Teknik adalah kegiatan spesifik yang diimplementasikan dalam kelas selaras dengan metode dan pendekatan yang dipilih [14]. Adapun teknik pengajaran unsur bahasa terbagi kepada beberapa macam, yaitu;
2.4.1.1 Teknik Pengajaran Baca Tulis
Huruf Arab memiliki beberapa karakteristik yang membedakannya dari huruf Latin. Diantara perbedaan tersebut ialah bahwa huruf Arab bersipat sillabary dalam arti tidak mengenal huruf vocal karena semua semua hurufnya konsonan. Perbedaan lainnya ialah cara menulis dan membacanya dari kanan ke kiri. Perbedaan ini merupakan problema tersendiri dalam mempelajari bahasa Arab bagi siswa yang hanya mengenal huruf Latin. Ada beberapa teknik untuk mengajarkan baca tulis huruf Arab, yaitu; Metode Alpabetik (al-abjadiyah) dan Metode Bunyi (al-shautiyah).
2.4.1.2           Teknik Pengajaran Tata bahasa
Pengajaran tatabahasa berfungsi sebagai penunjang tercapainya kemahiran berbahasa. Tatabahasa bukan tujuan, melainkan sarana untuk dapat menggunakan bahasa dengan benar dalam komunikasi. Pada dasarnya kegiatan pengajaran tatabahasa terdiri dari dua bagian. Yaitu pengenalan kaidah-kaidah (al-nahwu dan al-sharf) dan pemberian latihan atau drill. Kedua kegiatan tersebut dapat dilaksanakan dengan dua cara yaitu deduktif dan induktif.
2.4.1.3       Teknik Pengajaran kosa kata (mufradaat)
Kosa kata merupakan salah satu unsur bahasa yang harus dikuasai oleh pembelajar bahasa asing untuk dapat memperoleh kemahiran berkomunikasi. Tetapi mempelajari bahasa tidak identik dengan mempelajari kosa kata, Jadi untuk memiliki kemahiran berbahasa tidak cukup dengan menghafal kosa kata saja.
Adapun teknik pengajaran mufradat dalam mengenal dan memperoleh maknanya sebagai berikut; mendengarkan kata, mengucapkan kata, mendapatkan makna kata.
2.4.2 Teknik Pengajaran Kemahiran Berbahasa
Menyimak merupakan satu pengalaman belajar yang amat penting bagi para siswa dan harus mendapat perhatian yang sungguh-sungguh oleh pengajar. Implikasi dalam pelaksanaan pengajaran ialah guru hendaknya memulai pelajarannya dengan memperdengarkan ujaran-ujaran bahasa Arab baik berupa kata-kata atau kalimat. Ada beberapa tahapan latihan menyimak, yaitu latihan pengenalan (identifikasi), latihan mendengarkan dan menirukan, latihan mendengarkan dan memahami.

2.4.2        Teknik Pengajaran Kemahiran Berbicara
Berbicara merupakan sarana utama untuk membina saling pengertian, komunikasi timbal balik, dengan menggunakan bahasa sebagai medianya. Latihan berbicara harus didasari oleh kemampuan mendengarkan, kemampuan mengucapkan, dan kemampuan pengusaan kosa kata. Maka latihan berbicara merupakan kelanjutan latihan menyimak.
2.4.3        Teknik Pengajaran Kemahiran Membaca
Kemahiran membaca mengandung dua aspek yaitu mengubah lambang tulis menjadi bunyi dan menangkap arti dari seluruh situasi yang dilambangkan dengan lambang tulisan dan bunyi.

2.4.4        Teknik pengajaran Kemahiran menulis
            Sebagaimana membaca, kemahiran menulis mempunyai dua aspek, tetapi dalam hubungan yang berbeda. Pertama kemahiran membentuk huruf dan menguasai ejaan, kedua kemahiran melahirkan fikiran dan perasaan dengan tulisan. Ada beberapa teknik pengajaran kemahiran menulis, yaitu : (a) kemahiran membentuk huruf, dan (b) kemahiran  mengungkapkan dengan tulisan. Dan tahapan latihan menulis adalah mencontoh, reproduksi, imlak, rekombinasi dan tranpormasi, dan mengarang terpimpin. Sedangkan jenis-jenis Insya’ adalah eksposisi sederhana (al-‘ardh al-basiith), narasi/cerita (al-qishshah), deskripsi (al-washaf), surat (al-risalah), kreasi (al-ibtikary), dan imajinasi (al-khayaly)

 3      Penutup.
3.1      Kesimpulan
Bahasa Arab merupakan alat dan kunci untuk memahami al Qur’an dan al Hadist serta sumber-sumber hukum Islam yang lainya. Oleh karena itu pembelajaran bahasa Arab telah dimulai sejak usia anak-anak hingga usia dewasa, dari tingkat Ibtidaiyah sampai Aliyah bahkan perguruaan tinggi, dan juga pengajaran di pondok-pondok serta pesantren-pesantren. Namun itu semua masih jauh dari harapan yang diingingkan.
Keberhasilan atau tidaknya seseorang guru dalam pengajaran bahasa arab tak terlepas dari teori (al-nazariyyah), pendekatan (al-madkhal), metode (al-thariqah), dan teknik (al-uslub) yang digunakan. Apabila seorang guru memahami konsep-konsep diatas dan mau menerapkannya, dipastikan dia akan berhasil dalam pengajaran bahasa Arab, karena  konsep yang bagus kalau berada ditangan orang ahli akan mendapatkan hasil yang baik.
3.2       Saran
Dalam penulisan makalah ini penulis sudah berusaha semaksimalnya namun penulis percaya bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis mohon kritik dan sarannya untuk kesempurnaan makalah ini. Atas saran yang diberikan penulis ucapkan terimakasih.


  Daftar Kepustakaan
’Abdul aziz bin Ibrahim al-’ashily,  asaasiyaat ta’lim luqhah ’arabiyah linnatiqina     bi luqhah ukhra, Makah, Jamiah Ummulqura,1423 H.
’Abdurrahman bin Ibrahim al-fauzan, I’adaad mawad ta’lim luqhah al-arabiyah li gairinnatiqina biha, 1428 H
Ahmad Fuad Efendi, Metodologi Pengajaran Bahasa Arab, Malang, Penerbit Misykat, 2005
Abubakar Muhammad, Metode Khusus Pengajaran Bahasa Arab, Surabaya, Penerbit Usaha Nasional, 1981
Abdul Chaer, Psikolinguistik, Jakarta, Penerbit Rineka Cipta, 2002
Abdul Chaer,dkk, Sosiolinguistik Perkenalan awal, Jakarta, Penerbit Rineka, 2004
Departemen Agama, Kegiatan Pembelajaran Bahasa Arab, Jakarta, 2003

[2] . Ahmad Fuad Efendi, Metodologi Pengajaran Bahasa Arab, (Jakarta, Penerbit Misykat, 2005), hal 10
[3] . Abdul Chaer, Psikolinguistik Kajian Teoritik, (Jakarta, Penerbit Rineka Cipta,2009),hal 87
[4]  Opcit, hal 84
[5]  Opcit, hal 86
[6] . opcit,hal 90
[7] . ibid  hal 108
[8] . opcit  hal 12
[9] . ibid, hal 13
[10]  Ibid hal 16
[11] .opcit hal 6
[13] . ibid hal 6
[14]  Ibid hal 6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar